Senin, 23 Maret 2009

Membangun Bangsa Melalui Seni Budaya


Suasana Balai Rakyat Depok I tampak meriah. Satu per satu anak
menghampiri dan mencium tangan Budi Agustinah (44), pemimpin Sanggar
Tari Ayodya Pala. Di Balai Rakyat milik Pemerintah Kota Depok itu
puluhan anak tekun belajar menari tradisional.

“Orangtua melihat saat ini terjadi krisis moral. Di sini anak-anak
bukan hanya diajarkan agar pandai menari, tetapi juga memiliki budi
pekerti. Mencium tangan salah satu bentuknya,” kata Budi Agustinah
beberapa waktu lalu.

Sanggar Ayodya Pala yang didirikannya tahun 1981 itu kini memiliki 20
cabang di Depok, Bogor, dan Jakarta dengan 28 tenaga pengajar dan
sekitar 1.000 siswa. Semua cabang dipimpin dan dilatih oleh lulusan
Ayodya Pala.

Ayodya Pala kini dikenal telah membina dan mengembangkan rasa cinta
budaya tradisional kepada generasi muda. Mereka yang belajar dari
awal dapat melanjutkan hobi ini menjadi profesi ke tingkat pendidikan
formal di bidang seni. Alumnus Ayodya Pala menjadi sarjana tari
lulusan Sekolah Tinggi Seni Indonesia, di antaranya Solo, Yogyakarta,
Denpasar, dan Jakarta.

Nama Ayodya diambil dari epos Ramayana, yaitu tempat Rama dilahirkan,
di mana para kesatria belajar ilmu. Pala diambil dari Sumpah Palapa
Majapahit karena sanggar ini mengajarkan beragam kesenian dari semua
daerah di Nusantara.

Sanggar yang memiliki moto “Membangun Bangsa Melalui Seni Budaya” ini
telah melahirkan banyak penari profesional, pelatih tari, dan pekerja
seni. Karena itu, sanggar ini, kata Agustinah, secara langsung telah
memberikan peluang pekerjaan kepada anggotanya.

“Menari tidak dapat dilakukan secara instan, apalagi tari
tradisional. Menari haruslah sabar dan ulet, tak boleh gampang putus
asa dan harus dilakukan terus-menerus, seperti olahraga,” ujar
perempuan kelahiran Jakarta, 16 Agustus 1962, itu.

Ketika belajar menari pada usia empat tahun, Agustinah melakukannya
karena didorong orangtuanya, H Radikin dan Ny Suminah, keduanya
paramedis RSCM Jakarta asal Kroya, Jawa Tengah. Namun, ia akhirnya
jatuh cinta pada seni tari sejak kelas I SD. “Awalnya itu obsesi
orangtua. Dulu kan embah (saya) dalang dan punya gamelan. Bapak dan
Ibu melihat saya kok tomboi. Supaya kelihatan jadi perempuan, saya
disuruh belajar menari,” ujarnya. Sejak itu Agustinah makin mencintai
tari.

Ke luar negeri

Pengalaman pertamanya menari di pentas nasional pada tahun 1977
ketika ikut misi kebudayaan sebagai wakil DKI Jakarta, ke Surabaya,
Malang, Yogyakarta, dan Solo. Pada tahun itu Agustinah lulus dari
SMPN Depok dan tercatat sebagai siswa teladan se-Kabupaten Bogor.
Saat lulus SMAN 38 Jakarta tahun 1981, Agustinah meraih predikat
juara umum.

Ia pergi ke luar negeri pertama kali ketika duduk di kelas I SMA
tahun 1978, yaitu ke Kuala Lumpur, Malaysia, untuk kegiatan menari.
Hingga kini hampir semua negara di belahan dunia pernah
disinggahinya.

Selepas SMA, ia merintis pendirian sanggar tari ini di Jalan Melati
Raya, Depok. “Dulu Depok masih kota kecamatan di Kabupaten Bogor,”
ujarnya.

Supaya sanggar tari ini tetap eksis, Agustinah mengembangkan Ayodya
Pala. Ia tak hanya mengajarkan tari jawa dan sunda, tetapi juga
tarian tradisional dari seluruh Nusantara.

Sepuluh tahun pertama, yang masuk sanggar ini adalah anak-anak dari
masyarakat menengah ke bawah. Namun, sejak tahun 1991 hingga
sekarang, banyak orangtua dari kelas menengah dan menengah atas yang
memasukkan anak-anak mereka ke sanggar ini.

Ia tak melupakan jasa mantan Lurah Depok Jaya Huharmusa, yang pada
awal sanggar ini dibuka selalu memberikan tempat gratis bagi anak-
anak untuk berlatih menari. “Bahkan, Pak Lurah memberi ongkos pulang
saat itu,” katanya.

Organisasi “entertainment”

Sanggar ini membuka kelas terpadu untuk belajar tari, olah vokal, dan
modeling. Dari sini talenta anak akan mudah tergali.

“Dalam perkembangannya, Ayodya Pala berkembang menjadi organisasi
entertain yang menjual beragam paket kesenian, menjadi event
organizer, penghubung artis, dan menjual jasa konsultan. Hingga kini
Ayodya Pala aktif membina dan memberikan kesempatan beragam kelompok
seni untuk tampil, seperti kelompok pencak silat, barongsai, reog
ponorogo, sisingaan, kuda lumping,” katanya.

Anak-anak asuh Sanggar Ayodya Pala sering tampil di salah satu
televisi swasta nasional.

Saat latihan, kata Agustinah, anak-anak asuhnya diwajibkan bercakap-
cakap dalam bahasa Inggris karena ia ingin lulusan Ayodya Pala
mengglobal dan mampu menjadi guide bagi dirinya sendiri. “Anak-anak
juga tak boleh menggunakan tank-top dalam latihan,” kata Agustinah.

Agustinah yang sarjana biologi Fakultas MIPA Universitas Indonesia,
menikah dengan Baas Cihno Sueko (53) dan punya tiga putra, yaitu
Denta (23), Bima (20), dan Yayik (8).

Ia menarik Rp 75.000 per bulan untuk setiap anak yang belajar tari
dan Rp 125.000 per bulan untuk anak yang masuk kelas terpadu,
khususnya di Sanggar Ayodya Pala, Jalan Melati Raya. Pendidikan di
sanggar ini selama 14 semester atau tujuh tahun. Adapun di cabang-
cabangnya, biaya sangat bergantung pada lingkungan permukiman
setempat. “Ayodya Pala diwaralabakan. Kami hanya minta 20 persen dari
pendapatan cabang. Namun, semua pelatih dan pengajar harus lulusan
Ayodya Pala,” katanya.

Salah satu lulusan Ayodya Pala, Dwi Krisna Handayani (22), putri
seorang pegawai negeri sipil Fakultas Kedokteran Gigi UI, belajar
menari sejak tujuh tahun lalu. Ia membiayai sendiri kuliahnya di
Program D3 Sekretaris BSI Pondok Labu dari hasil mengajar di sanggar
ini. Dwi pernah melanglang buana ke Jerman, Korea, dan China.

Salah satu obsesi Agustinah adalah membangun sanggar seni dan budaya
di Depok atau di Jakarta yang sekelas dengan Pedepokan Bagong
Kussudiardjo di Yogyakarta dan Mang Ujo di Bandung. “Kami tidak
semata-mata mencari keuntungan karena kami ingin menyumbang
pembangunan karakter manusia Indonesia lewat seni dan budaya di
sanggar ini,” ujarnya.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Seni Budaya Nusantara Blak Magik is Designed by productive dreams for smashing magazine Bloggerized by Ipiet © 2008